Senin, 19 Desember 2011

Islam dan fanatisme kesukuan

ISLAM & FANATISME KESUKUAN
Islam datang ke muka bumi ini dengan ajaran-ajaran Alah swt. yang membimbing manusia seluruhnya kepada kehidupan yang ideal, yaitu kehidupan yang paling sempurna, sejauh yang dapat dicapai oleh manusia di muka bumi ini, baik dalam bidang akidah, ibadah, maupun dalam kehidupan sosial, demi kebahagiaan manusia itu sendiri di dunia dan di akhirat.

Ketika agama Islam yang dibawa oleh Muhammad Saw. untuk pertama kalinya datang di Makkah, jazirah Arab, pada abad VI M, banyak aspek kehidupan masyarakat Arab yang bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam, pembawa rahmatan lil ‘alamin itu. Aspek-aspek tersebut antara lain adalah faham syirik dalam bidang akidah dan ibadah, pandangan hidup yang materialistis, perbudakan, dan fanatisme kelompok dalam bidang sosial.

Sejarah telah mencatat bahwa Rasulullah Saw.  telah berhasil menumpas penyakit-penyakit syirik, pandangan hidup materialistik, perbudakan, dan fanatisme kesukuan, serta penyakit-penyakit kemasyarakatan lainnya dalam waktu yang relatif singkat, berkat dakwahnya yang berlandaskan tauhid dan keteladanan akhlaqul karimah.

Penyakit sosial berupa fanatisme kelompok, yang dalam bahasa Arabnya dikenal dengan istilah ’ashabiyyah jahiliyyah akhir-akhir ini kembali muncul dan memerlukan penanganan serius dari semua pihak. Fanatisme kesukuan ditandai oleh tiga hal, yaitu: Pertama, seseorang merasa berkewajiban untuk membela warga kelompoknya, sekalipun warga yang bersangkutan berada di pihak yang salah; Kedua, warga yang bersangkutan merasa berhak mendapat bantuan dari warga yang lain, walaupun ia telah melakukan hal yang bertentangan dengan kebenaran dan rasa keadilan; Ketiga, seseorang merasa berkewajiban menolong sesama anggota kelompoknya yang sedang mengalami kesulitan atau menghadapi suatu masalah, dengan cara apapun, sekalipun cara yang ditempuhnya bertentangan dengan peraturan dan hukum yang berlaku (illegal). Bahkan, ‘ashabiyyah pada zaman jahiliyyah dahulu seringkali membuat seseorang merasa bangga yang berlebihan dengan kelompoknya, sehingga memandang rendah kelompok yang lain.

Rasulullah Saw. melihat bahwa ‘ashabiyyah jahiliyyah atau fanatisme kelompok telah membawa akibat yang buruk dan kerugian yang besar bagi masyarakat luas. Karena itu, beliau sejak awal berteguh hati untuk memberantasnya, sebagaimana sabdanya:
 “Buanglah jauh-jauh fanatisme jahiliyyah”.

 “Orang yang suka menghembus-hembuskan fanatisme jahiliyyah bukanlah dari golongan kita (kaum muslimin)”.

Fanatisme kelompok dalam sejarahnya ternyata telah mendatangkan banyak bencana dan kerugian moral maupun material di kalangan warga masyarakat jazirah Arab, yang ketika itu memang teridiri dari banyak kabilah atau suku. Kerugian-kerugian tersebut antara lain:
Pertama, telah banyak menimbulkan pertentangan, pertengkaran, dan bentrokan fisik antar kelompok kecil maupun antar kelompok besar yang disebut “kabilah”. Bahkan, tidak jarang terjadi peperangan antar tetangga, gara-gara hal yang sepele, dan setelah diteliti ternyata akar permasalahannya bersumber dari ashabiyyah jahiliyyah itu.

Kedua, telah menimbulkan persekongkolan dalam kezhaliman yang acapkali menimbulkan lenyapnya hak-hak pihak lain dan timbulnya tindakan sewenang-wenang dari pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah.

Ketiga, telah mengakibatkan meluasnya tindakan kriminal semisal pembunuhan, pencurian, penggelapan milik orang lain, dan teror, yang pada gilirannya akan menumbuhkan tindakan balas dendam dari pihak yang sebelumnya merasa dirugikan.

Keempat, telah menggoyahkan sendi-sendi persatuan dan kesatuan di kalangan warga masyarakat jazirah Arab secara keseluruhan. Hal ini pada gilirannya mengakibatkan para penguasa setempat tidak berwibawa dan tidak berdaya dalam menegakkan peraturan dan melaksanakan undang-undang. Akibat paling buruk adalah meluasnya tindakan anarki di masyarakat.

Bagaimana upaya yang dilakukan Rasulullah Saw. untuk memberantas ‘ashabiyyah jahiliyyah pada masanya, kiranya dapat dijadikan contoh dalam memberantas fanatisme kelompok pada abad 21 ini.

Rasulullah Saw. mengkampanyekan prinsip-prinsip ajaran Islam tentang persamaan dan persaudaraan yang lebih luas, yaitu persaudaraan Islam (ukhuwwah islamiyyah), bahkan persaudaraan sesama  ummat manusia, tanpa membedakan warna kulit, jenis kelamin, suku bangsa dan daerah asal. Ketika seorang sahabat bernama Abu Dzar al-Ghihfari memanggil seseorang: “wahai orang hitam,” Nabi saw mendadak berubah raut mukanya seraya berkata kepada Abu Dzar: “Abu Dzar, ternyata engkau masih memiliki sifat jahiliyyah”.

Langkah-langkah lain dengan pendekatan sosial yang kongkrit pun dilakukan oleh Rasulullah dalam rangka memberantas ‘ashabiyyah ini. Misalnya, melalui pemberian zakat, shadaqah, dan kegiatan-kegiatan sosial lainnya yang dilakukan kaum muslimin yang mampu kepada kaum muslimin yang tidak mampu dan memerlukan bantuan. Dengan demikian, warga masyarakat semuanya merasa diperlakukan secara adil.

Keberhasilan Rasulullah dalam mempersatukan kabilah-kabilah Arab dalam persaudaraan seagama dan kemanusiaan merupakan nikmat yang tiada taranya dari Allah Swt, sebagaimana dalam firman-Nya:
 “Berpeganglah kamu kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (pada masa jahiliyyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu kamu karena nikmat Allah menjadi orang-orang yang bersaudara, dan kamu pernah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatnya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk”.

Dengan demikian, kaum muslimin menjadi umat yang bersatu dan bukan saja pandai memberi perlindungan kepada sesama muslim, tetapi juga kepada non-muslim yang ingin bekerja sama dengan baik dengan mereka, seperti dalam sabda Rasulullah Saw.:
 “Kaum Muslimin sama antara seorang dengan yang lain dan bahkan mereka memberikan perlindungan keamanan kepada pihak non Muslim sekalipun. Kaum Muslimin itu adalah merupakan satu barisan yang kokoh dalam menghadapi pihak lain”.

Karena memiliki kelebihan seperti itu, maka Allah memuji ummat Islam dalam firman-Nya:
 “Kamu adalah ummat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah”.

Demikianlah, ashabiyyah jahiliyyah yang sempat meluas pada zaman jahiliyyah dan awal Islam telah berhasil dikikis habis oleh Rasulullah saw. 14 abad yang lalu. Kini, ‘ashabiyyah ini  muncul kembali pada millenium II dewasa ini di banyak tempat, di kota dan di desa, di kalangan masyarakat muslim maupun bukan muslim. Dengan berkaca kepada apa yang telah dilakuan oleh Rasulullah Saw. bersama sahabatnya dahulu dalam menanggulangi wabah fanatisme kelompok tersebut, mari kita bersama-sama menanggulangi penyakit sosial ini. Semoga kita semua diberi kekuatan lahir batin oleh Allah Swt.  dalam upaya menciptakan masyarakat yang dipenuhi semangat ukhuwwah Islamiyah yang mampu membuat seluruh kaum Muslimin menjadi satu keluarga besar yang kokoh, kuat, dan penuh toleransi pula terhadap umat lain.  Barakallahu li wa lakum. Amin ya rabbal ‘alamin.

Sumber :
Disunting dari Buletin Jum'at Masjid Agung At-tin Vol. 101, yang ditulis oleh Prof. Dr. HD. Hidayat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar